19.10.10

SYISTIM RESPIRASI

| 19.10.10 |

System Pernafasan


Fisiologi Pernapasan
Sebagian besar sel dalam tubuh memperoleh energi dari reaksi kimia yang melibatkan oksigen dan pembuangan karbondioksida. Pertukaran gas pernapasan terjadi antara udara di lingkungan dan darah. Terdapat tiga langkah dalam proses oksigenasi, yakni: ventilasi, perfusi, dan difusi (McCance dan Huether, 1994). Supaya pertukaran gas dapat terjadi, organ, saraf, dan otot pernapasan harus utuh dan sistem saraf pusat mampu mengatur siklus pernapasan.

Ventilasi
Ventilasi merupakan proses untuk mengerakkan gas ke dalam dan keluar paru-paru. Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru dan thokraks yang elastis dan persarafan yang utuh. Otot pernapasan inspirasi utama adalah diafragma. Diafragma dipersarafi oleh saraf frenik yang keluar dari medulla spinalis pada vertebra servikal keempat. (Potter And Perry,1999).

Kerja Pernapasan
Pernapasan adalah upaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan membuat paru berkontraksi. Kerja pernapasan ditentukan oleh  tingkat kompliansi paru, tahanan jalan napas, keberadaan ekspirasi yang aktif, dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan.

Kompliansi merupakan kemampuan paru distensi (Dettenmeier, 1992) atau mengembang sebagai respons terhadap peningkatan tekanan intraalveolar. Kompliansi menurun pada penyakit, seperti edema pulmonar, interstisial, fibrosis pleura dan kelainan struktur traumatik atau kongenital, seperti kifosis atau fraktur iga.

Surfaktan merupakan zat kimia yang diproduksi di paru oleh sel tipe dua alveolar yang mempertahankan tegangan permukaan alveoli dan mencegahnya dari kolaps. Tahanan jalan napas merupakan perbedaan tekanan antara mulut dan alveoli terkait dengan kecepatan aliran gas yang diinspirasi. Tahanan jalan napas dapat mengalami peningkatan akibat obstruksi jalan napas, penyakit di jalan napas kecil (seperti asma), dan edema trakeal. Jika tahanan meningkat, jumlah udara yang melalui jalan napas anatomis menurun (Potter And Perry,1999)..

 

Anatomi Paru

Saluran Udara
Setelah melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan dihangatkan dan dilembabkan dengan uap air, udara inspirasi berjalan menuruni trakea, melalui bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris sampai ke alveoli. Antara trakea dan sakus alveolaris terdapat 23 kali percabangan saluran udara. Enam belas percabangan pertama saluran udara merupakan zona konduksin yang menyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar. Bagian ini terdiri dari bronkus, bronkiolus dan brounkiolus terminalis. Tujuh percabangan berikutnya merupakan zona peralihan dan zona respirasi, tempat terjadinya pertukaran gas, dan terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Adanya percabangan saluran udara majemuk ini sangat meningkatkan luas total penampang melintang saluran udara, dari 2,5 cm2 di trakea, menjadi 11.800 cm2 di alveoli. Akibatnya, kecepatan aliran udara di dalam saluran udara kecil sangat menurun mencapai nilai yang rendah.

Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru, dan pada umumnya struktur antara udara dan darah kapiler tempat terjadinya difusi O2 dan CO2 sangat tipis. Pada manusia didapatkan 300 juta alveoli, dan luas keseluruhan dinding alveoli yang berhubungan dengan pembuluh kapiler dalam kedua paru sekitar 70 m3 (Ganong FW, 1998).

Tiap alveolus dilapisi oleh dua jenis sel epitel. Sel tipe I merupakan sel gepeng yang memiliki perluasan sitoplasma yang besar dan merupakan sel pelapis utama. Sel tipe II (pneumosit granular) lebih tebal dan mengandung banyak badan inklusi lamelar. Sel-sel ini mensekresi surfaktan. Kemungkinan terdapat pula sel epitel jenis khusus lainnya, dan paru-paru juga memiliki makrofag alveolus paru (PAMs = Pulmonary Alveolar Macrophages), limfosit, sel plasma, sel APUD serta sel mast. Sel mas mengandung heparin, berbagai lipid, histamin, dan berbagai protease yang ikut ambil bagian dalam reaksi alergi (Ganong FW, 1998).
Bronkus dan Persarafannya
Dinding trakea dan bronkus mengandung tulang rawan, tetapi relatif hanya sedikit otot polos. Dindingnya dilapisi oleh epitel bersilia yang mengandung kelenjar mukus dan serosa. Epitel bersilia ini terdapat sampai dengan bronkiolus respiratorius, namun kelenjar tidak didapati pada epitel  bronkiolus dan bronkiolus terminalis serta dindingnya tidak mengandung tulang rawan. Walaupun demikian, dindingnya mengandung lebih banyak otot polos, dan jumlah otot polos terbanyak bila dibandingkan dengan ketebalan dindingnya, didapatkan pana bronkiolus terminalis. Dinding bronkus dan bronkiolus dipersarafi oleh susunan saraf otonom. Ditemukan banyak reseptor muskarinik, dan perangsangan kolinergik mengakibatkan bronkokonsriksi. Di sel mast. Otot polos dan epitel bronkus didapatkan reseptor adrenergik β1 dan β2. Banyak dari reseptor tersebut tidak mempunyai persarafan. Sebagai reseptor terletak pada ganglia dan ujung saraf koligernik, dan menghambat pelepasan asetilkolin. Pada manusia, reseptor β2 lebih menonjol, dan pemberian inhalasi atau suntikan agonis β seperti isoproterenol menimbulkan bronkodilatasi dan penurunan sekresi bronkus(Ganong FW, 1998).

Sebagai tambahan, terdapat pula persarafan nonkoligernik, nonadrenergik pada bronkiolus yang menyebabkan bronkodilatasi, dan bukti menunjukkan bahwa VIP merupakan mediator yang berperan dalam terjadinya dilatasi. Leukotrien LTC4, LTD4, dan LTE4 (lihat bab 17) merupakan bronkokonstriktor kuat, terutama pada pemberian secara inhalasi. Beberapa serat saraf pada paru-paru mengandung substansi P yang menimbulkan bronkokonstriksi serta sekresi mukus. Serat saraf lainnya mengandung CCK 8, CGRP dan polipeptida lain, namun fungsi dari polipeptida tersebut masih belum diakui(Ganong FW, 1998)..

Sirkulasi Paru

Hampir seluruh darah dalam tubuh  mengalir melalui arteri pulmonalis menuju jalinan kapiler paru, tempat terjadinya oksigenasi darah dan kemudian dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis. Arteri bronkialis yang jauh lebih kecil dan letaknya terpisah, merupakan cabang aorta; dan vena bronkialis akan mengirimkan darahnya menuju vena azygos. Peredaran bronkial berfungsi memberi nutrisi pada bronkus dan pleura, namun didapatkan anastomosis yang luas antara jalinan kapiler bronkial dengan pulmonal. Didapatkan saluran limfe pada paru pada jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan pada organ lain(Ganong FW, 1998)..
Mekanika Pernapasan

Inspirasi & Ekspirasi
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur elastik. Pada keadaan normal, hanya ditemukan selapis tipis cairan di antara paru-paru dan dinding dada. Paru-paru dengan mudah dapat bergeser sepanjang dinding dada seperti halnya 2 lempengan kaca yang direkatkan dengan air dapat digeser tetapi tidak dapat dipisahkan. Tekanan di dalam “ruang” antara paru-paru dan dinding dada (tenanan intrapleura) bersifat subatmosferik. Pada saat kelahiran, jaringan paru dikembangkan sehingga terengang, dan pada akhir ekspirasi tenang, kecenderungan daya rekoil jaringan paru untuk menjauhi dinding dada diimbangi oleh daya rekoil dinding dada ke arah yang berlawanan. Apabila dinding dada dibuka, paru-paru akan kolaps; dan apabila paru-paru kehilangan elastisitasnya, dada akan mengembam menyerupai bentuk gentong (barrel shaped).

Inspirasi merupakan proses aktif. Kontraksi otot-otot inspirasi akan meningkatkan volume intratorakal. Takanan intrapleura di bagian basis paru akan turun dari nilai normal sekitar –2,5 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) pada awal ispirasi, menjadi –6 mmHg. Jaringan paru semakin teregang. Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif, dan udara mengalir ke dalam paru. Pada akhir inspirasi, daya rekoil paru mulai menarik dinding dada kembali ke kedudukan ekspirasi sampai terjadi keseimbangan kembali antara daya rekoil jaringan paru dan dinding dada. Tekanan di dalam saluran udara menjadi lebih positif, dan udara mengalir meninggalkan paru-paru. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot untuk menurunkan volume intratorakal. Namun pada awal ekspirasi, masih terdapat kontraksi ringan otot inspirasi. Kontraksi ini berfungsi sebagai peredam daya rekoil paru dan memperluas ekspirasi.

Pada inspirasi kuat, tekanan intrapleura turun mencapai –30 mmHg, menimbulkan pengembangan jaringan paru yang lebih besar. Apabila ventilasi meningkat, derajad pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan melalui kontraksi aktif otot-otot ekspirasi yang menurunkan volume intratorakal(Ganong FW, 1998)..


Volume Paru
Jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap inspirasi (atau jumlah udara yang keluar dari paru setiap ekspirasi) dinamakan volume alun napas (tidal volume/TV). Jumlah udara yang masih dapat masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa disebut volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume/IRP). Jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi, setelah ekspirasi biasa disebut volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume/ERV), dan udara yang masih tertinggal di dalam paru setelah ekspirasi maksimal disebut volume residu (residual volume/RV). Ruang di dalam saluran napas yang berisi udara yang tidak ikut serta dalam proses pertukaran gas dengan darah dalam kapiler paru disebut ruang rugi pernapasan. Pengkuran kapasitas vital, yaitu jumlah udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru-paru setelah inspirasi maksimal, seringkali digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot-otot pernapasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain. Fraksi volume kapasitas vital dikeluarkan pada satu detik pertama melalui ekspirasi paksa (volume ekspirasi paksa 1 detik, FEV1, FEV 1”, kapasitas vital berwaktu/timed vital capasity) dapat memberikan informasi tambahan; mungkin diperoleh nilai kapasitas vital yang normal tetapi nilai FEV1 menurun pada penderita penyakit asma, yang mengalami peningkatan tahanan saluran udara akibat kontribusi bronkus. Pada keadaan normal, jumlah udara yang diinspirasikan selama satu menit (ventilasi paru, volume respirasi semenit) sekitar 6L (500 mL/napas x 12 napas/menit). Ventilasi volunter maksimal (Maximal Voluntary Ventilation/MVV), atau yang dahulu disebut kapasitas pernapasan maksimun (Maximal Breathing Capasity), adalah volume gas terbesar yang dapat dimasukkan dan dikeluarkan selama 1 menit secara volunter. Pada keadaan normal, MVV berkisar antara 125-170 L/menit(Ganong FW, 1998)..

Otot-Otot Pernapasan
Gerakan diafragma menyebutkan perubahan volume intratorakal sebesar 75% selama inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian dasar rongga toraks, membentuk kubah di atas hepar dan bergerak ke arah bawah seperti piston pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan diafragma berkisar antara 1,5 cm sampai 7 cm saat inspirasi .
Diafragma terdiri atas tiga bagian: bagian kostal, dibentuk oleh serat otot yang bermula dari iga-iga sekaliling bagian dasar rongga toraks; bagian krural, dibentuk oleh serat otot yang bermula dari ligamentum sepanjang tulang belakang; dan tendon sentral, tempat bergabungnya serat-serat kostal dan krural. Serat-serat krural melintasi kedua sisi esofagus. Tendon sentral juga mencakup bagian inferior perikardium. Bagian kostal dan krural diafragma dipersarafi oleh bagian lain nervus frenikus dan dapat berkontraksi secara terpisah. Sebagai contoh .pada waktu muntah dan bersendawa, tekanan intra-abdominal meningkat akibat kontraksi serat kostal diafragma, sedangkan serat-serat krural tetap lemas, sehingga memungkinkan bergeraknya berbagai bahan dari lambung ke dalam esofagus(Ganong FW, 1998)..

Otot inspirasi penting lainnya adalah muskulus interkontalis eksternus, yang berjalan dari iga ke iga secara miring ke arah bawah dan ke depan. Iga-iga berputar seolah-olah bersendi di bagian punggung, sehingga ketika otot interkontalis eksternus berkontraksi, iga-iga di bawahnya akan terangkat. Gerakan ini akan mendorong sternum ke luar dan memperbesar diameter anteroposterior rongga dada. Diameter transversal boleh dikatakan hampir tidak berubah. Masing-masing otot interkostalis eksternus maupun diafragma dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat pada keadaan istirahat. Potongan melintang medula spinalis di atas segmen servikalis ketiga dapat berakibat fatal bila tidak diberikan pernapasan buatan, namun tidak demikian halnya bila dilakukan pemotongan di bawah segmen servikalis kelima, karena nervus frenikus yang mempersarafi diafragma tetap utuh; nervus frenikus timbul dari medula spinalis setinggi segmen servikal 3-5. Sebaliknya, pada penderita dengan paralisis bilateral nervus frenikus agak sukar tetapi cukup adekuat untuk mempertahankan hidup. Muskulus skalenus dan sternokleidomastoideus di leher merupakan otot-otot inspirasi tambahan yang ikut membantu mengangkat rongga dada pada pernapasan yang sukar dan dalam(Ganong FW, 1998)..

Apabila otot ekspresi berkontraksi, terjadi penurunan volume intratorakal dan ekspirasi paksa. Kemampuan ini dimiliki otot-otot interkostalis internus karena otot-otot ini berjalan miring ke arah bawah dan belakang dari iga ke iga, sehingga pada waktu berkontraksi akan menarik rongga dada ke bawah . kontraksi otot dinding abdomen anterior juga ikut membantu proses ekspirasi dengan cara menarik iga-iga ke bawah dan ke dalam serta dengan meningkatkan tekanan intra abdominasi yang akan mendorong diafragma ke atas.

Tonus Bronkus
Secara umum, otot polos pada dinding bronkus berfungsi membantu mempertahankan distribusi ventilasi yang merata. Rangsangan pada reseptor sensorik di saluran napas oleh iritan dan zak kimia seperti sulfur dioksida menimbulkan reflek bronkokonstriksi yang disalurkan melalui jaras kolinergik. Bronkokonstriksi juga dapat ditimbulkan oleh udara dingin serta sewaktu melakukan kerja jasmani, mungkin karena adanya peningkatan pernapasan sewaktu olahraga akan mendinginkan saluran udara. Leukotrin menyebabkan bronkonstriksi, sedangkan antagonis LTD, dapat mengurangi derajad bronkokonstriksi sewaktu berolahraga. Selain itu otot-otot bronkus juga melindungi bronkus sewaktu batuk. Tonus bronkus memiliki irama sirkadian, yaitu konstriksi maksimal terjadi sekitar pukul 06.00 pagi dan dilatasi maksimal terjadi sekitar pukul 18.00 sore. VIP menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, dan telah dibuktikan adanya sistem saraf nonadrenergik nonkolinergik yang mengatur tonus bronkus melalui VIP. Dilaporkan pula adanya defisiensi atau tidak terdapatnya VIP pada sebagian besar penderita asma(Potter And Perry,1999)..

Kompilasi Paru-Paru dan Dinding Dada
Interaksi antara daya rekoil jaringan paru dan daya rekoil dinding dada dapat diperlihatkan pada subjek hidup. Subjek percobaan bernapas melalui sebuah spirometer yang dilengkapi sebuah katup di belakang mouth-piece, dengan kedua cuping hidung dijepit rapat. Mouth-piece ini dilengkapi dengan alat pengukur tekanan. Setelah subjek menghirup sejumlah volume udara, katup diputar sehingga saluran udara tertutup. Otot-otot pernapasan dibiarkan berelaksasi, sementara tekanan dalam saluran udara dicatat. Tindakan ini diulang setelah menghirup atau secara aktif mengeluarkan sejumlah volume udara. Kurva tekanan saluran udara yang diperoleh melalui percobaan dan ini digambarka terhadap volume, merupakan kurva tekanan relaksasi keselurugan sistem pernapasan . pada volume paru yang sesuai dengan jumlah udara dalam paru pada akhir ekspirasi tenang (volume relaksasi, sama dengan kapasitas residu fungsional), tekanan dalam saluran udara sama dengan nol. Peningkatan volume dalam paru menghasilkan tekanan positif, sedangkan penurunan volume dalam paru menimbulkan tekanan negatif. Perbandingan antara perubahan volume paru dengan satuan perubahan tekanan saluran udara (ΔV/ΔP) menggambarkan kemudahan diregangnya (komplians) jaringan paru dan dinding dada. Pada umumnya, pengukuran dilakukan pada kisaran kurva tekanan relaksasi yang paling curam, dan nilai normalnya adalah 0,2 L/cm H2O. Walaupun demikian, komplians bergantung pada volume udara dalam paru; seorang yang hanya memiliki satu paru menunjukkan nilai ΔV separuh dari ΔV individu normal untuk ΔV tertentu. Komplians juga sedikit lebih besar jika diukur selama pengempisan paru dibandingkan apabila diukur selama pengembangan paru. Oleh sebab itu lebih banyak informasi dapat diperoleh apabila dilakukan pemerikasaan kurva tekanan volume keseluruhan. Bendungan dan fibrosis jaringan interstisial paru akan menggeser kurva ke bawah kanan (komplians menurun). Pada enfisema, kurva bergeser ke atas kiri (komplians meningkat). Perlu diperhatikan bahwa kompliasn merupakan pengukuran statik daya rekoil jaringan paru dan dinding dada. Perbedaan tekanan yang diperlukan untuk mengalirkan suatu satuan volume udara menunjukkan besar tahanan jaringan paru dan dinding dada; dan pengukuran yang lebih bersifat dinamik ini (buan statik) juga berkaitan dengan besar tahanan aliran udara dalam saluran napas.

Tegangan Permukaan Alveolar
Suatu faktor penting yang mempengaruhi komplians jaringan paru adalah tegangan permukaan yang ditimbulkan oleh cairan yang melapisi alveolus. Dampak faktor ini pada berbagai volume paru dapat diukur dengan cara mengeluarkan paru-paru dari tubuh serta mengembangkannya secara bergantian menggunakan sa-line dan udara sambil mengukur tekanan intrapulmonal. Kuva tekanan-volume yang diperoleh pada pemberian saline hanya menunjukkan elastisitas jaringan, karena saline menurunkan tegangan permukaan sampai hampir nol, sedangkan kurva yang diperoleh pada pemberian udara menunjukkan elastisitas jaringan dan tegangan permukaan. Perbedaan antara kedua kurva, yaitu elastisitas akibat tegangan permukaan, jauh lebih rendah saat volume paru yang kecil dibandingkan saat volume paru yang besar. Tegangan permukaan juga jauh lebih rendah dibandingkan tegangan permukaann yang diharapkan pada pertemuan air-udara dengan dimensi yang sama.

 

Surfaktan

Tegangan permukaan  yang rendah pada waktu alveolus kecil disebabkan oleh adanya surfaktan (suatu lipid yang merendahkan tegangan permukaan) di dalam cairan yang melapisi alveolus. Surfaktan merupakan campuran dipalmitoilfosfatidilkolin (DPPC), berbagai lipid lain dan protein (Tabel 2.1). Apabila tegangan permukaan tersebut tidak dipertahankan rendah saat alveouls mengecil selama ekspirasi, maka sesuai dengan hukum  Laplace (lihat bab 30), alveolus akan kolaps. Pada struktur berbentuk sferis seperti alveolus, tekanan pengembagan setara dengan 2 kali tegangan dibagi jari-jari (Pernapasan=2T/r);

Tabel 2.1.. Perkiraan komposisi surfaktan
Komponen
Persen komposisi
Olpalmitoilfosfatidilkolin
Fosfatidilgilsin
Fosfolipid lain
Lipid netrat
Protein
Karbohidrat
62
5
10
10
8
8

Jika T tidak diturunkan bila r berkurang, maka nilai tegangan akan melampaui tekanaan pengembangan. Surfaktan juga berfungsi membantu mencegah terjadinya edema paru. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa bila tidak terdapat surfaktan, tegangan permukaan alveolus yang tidak dilawan akan menimbulkan tekanan sebesar 20 mmHg yang mengakibatkan transudasi caran dari darah ke dalam alveolus.

Fosfolipid yang memiliki “kepala” hidrofilik dan 2 “ekor” asam lemak hidrofobik sejajar berberis sepanjang alveolus dengan ekornya menghadap ke lumen alveolus, dan tegangan permukaan berbanding terbalik dengan konsentrasinya per satuan luas. Molekul-molekul fosfolipid bergerak menjauh sewaktu alveolus membesar saat inspirasi, dan tegangan permukaan meningkat, sebaliknya tegangan permukaan menurun saat molekul bergerak saling mendekati selama ekspirasi.

Surfaktan dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II. Badan lamelar sprsifik, yaitu organel yang mengandung gulungan fosfolipid dab terikat pada membran sel, dibentuk dalam sel-sel tersebut dan disekresikan ke dalam lumen alveolus secara eksositosis. Tabung lipid yang disebut mielin tubular dibentuk dari tonjolan badan, dan mielin tubular selanjutnya membentuk lapisan fosfolipid. Sebagian kompleks protein-lipid di dalam surfaktan diambil kembali ke dalam sel alveolus tipe II secara endositosis danb didaur ulang.

Pembentukan lapisan fosfolipid sangat dipermudah oleh protein dalam surfaktan. Bahan ini mengandung 3 protein utama, SP-A, SP-B, dan SP-C. SP-A adalah suatu glikoprotein besar dan memiliki ranah (domain) menyerupai kolagen di dalam strukturnya. Diperkirakan SP-A mempunyai bererapa fungsi beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik pengambilan kembali surfaktan oleh sel epitel alveolus tipe II yang mensekresikannya. SP-B dan SP-C adalah protein yang lebih kecil yang menfasilitasi pembentukan lapisan fosfolipid monomolekuler.

Surfaktan mempunyai peranan penting pada kelahiran. Janin di dalam uterus melakukan gerakan pernapasan, namun jaringan parunya tetap kolaps sampai saat kalahiran. Setelah lahir, bayi melakukan beberapa kali gerakan inspirasi kuat dan parunya akan mengembang. Adanya surfaktan mencegah agar jaringan paru tidak kolaps kembali. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab terjadinya penyakit membran hialis (sindroma gawat pernapasan, RDS = respiratory distress syndrome), suatu penyakit paru serius yang terjadi pada bayi yang lahir sebelum sistem surfaktannya berfungsi. Pada bayi tersebut didapatkan tegangan permukaan dalam paru yang tinggi, dan didapatkan banyak daerah dengan alveolus yang kolaps (atelektasis). Pemberian fosfolipid saja secara inhalasi tidak banyak bermanfaat pada RDS. Namun pemberian surfaktan sapi yang mengandung fosfolipid dan protein ternyata memberikan hasil yang cukup memuaskan.

Ukuran dan jumlah inklusi pada sel tipe II akan meningkat oleh pengaruh hormaon tiroid, dan RDS lebih sering dijumpai serta lebih oarah pada bayi dengan kadar hormon tiroid plasma yang rendah dibandingkan poda bayi dengan kadar hormon plasma normal. Proses pematangan surfaktan dalam paru juga dipercepat oleh hormaon glukokortikoid. Menjelang umur kehamilan cukup bulan didapatkan peningkatan kadar kortisol fetal dan maternal, serat jaringan parunya kaya akan reseptor glukokortikoid. Selain itu, insulin menghambat  penumpukan SP-A dalam kultur jaringan paru janin manusia, dan didapatkan hiperinsulinisme pada janin dari ibu yang menderita diabetes. Hal ini dapat menerangkan terjadinya peningkatan insidens RDS pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita diabetes.

Bercak atelektasis juga dikaitkan dengan difisiensi surfaktan pada pasien yang menjalani pembedahan jantung menggunakan pompa oksigenator dan sirkulasi parunya dihambat. Selain itu, difisiensi surfaktan mungkin memegang peranan akan timbulnya beberapa kalainan setelah penutupan bronkus utama, oklusi satu arteri pulmonalis atau pemberian inhalasi O2 100% jangka lama. Didapatkan penurunan jumlah surfaktan dalam paru seorang perokok sigaret.
Tebel Komponen-komponen yang membentuk kerja pernapasan selama inspirasi tenang, dan persentase kontribusi masing-masing komponen.
Kerja nonelastis
Tahanan viakos
Tahanan saluran udara
Kerja elastis

7%
28%
65%

Kerja Pernapasan

Otot-otot pernapasan melakukan kerja untuk meregang jaringan elastis dinding dada dan paru-paru (kerja elastis), menggerakkan jaringan tidak elastis (tahan viskos), serta menggerakkan udara melalui jalan pernapasan (Tebel 2.2). Mengingat bahwa tekanan dikalikan volume (g/cm2 x cm3 = g x cm) mempunyai besara yang sama dengan kerja (gaya x jarak), maka kerja pernapasan dapat dihitung dari kurva tekanan relaksasi. Kerja elastik total yang dibutuhkan untuk inspirasi adalah area ABCD. Perhatikan bahwa kurva tekanan relaksasi sistem pernapasan total berbeda dengan kurva tekanan jaringan paru-paru saja. Kerja elastik sebenarnya yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume dalam paru-paru saja adalah area ABDEA. Jumlah kerja elastik yang dibutuhkan untuk mengembangkan seluruh sistem pernapasan lebih kecil daripada jumlah kerja yang diperlukan untuk mengembangkan jaringan paru saja, karena sebagian energi kerja berasal dari energi elastik yang hilang dari rongga dada (area AFGBA) setara dengan energi yang diperoleh paru-paru (area AEDCA).

Selama pernapasan tenang, tahanan gesekan akibat gerakan udara relatif kecil, namun cukup untuk menimbulkan perubahan tekanan intrapleura yang menyebabkan perubahan volume dalam paru-paru selama inspirasi dan ekspirasi, menimbulkan suatu lingkaran histeresis dan bukan suatu garis ,lurus, apabila tekanan digambarkan terhadap volume. Apabila aliran udara terjadi turbulen selama pernapasan cepat, energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan udara akan lebih besar dibandingkan bila aliran udara tersebut laminer.

Perkiraan kerja total selama pernapasan tenang berkisar antara 0,3 sampai 0,8 kg-m/menit. Nilai ini meningkat dengan jelas selama latihan fisik, namun kebutuhan energi untuk pernapasan pada individu normal kurang dari 3% kebutuhan energi total selama latihan fisik. Kerja pernapasan sangat meningkat pada beberapa penyakit seperti enfisema, asma dan gagal jantung kongestif yang disertai dispnea dan ortopnea. Otot-otot pernapasan menunjukkan hubungan panjang tegangan seperti halnya otot rangka lain atau jantung, dan apabila otot pernapasan diregang secara berlebihan, kuat kontraksinya berkurang. Otot-otot ini juga dapat menjadi lebih dan mengalami kegagalan (kegagalan memompa), mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat. Melalui mekanisme yang belum diketahui, pemberian aminoilin meningkatkan kekuatan kontraksi otot diafragma pada manusia dan bermanfaat dalam pengobatan kegagalan pemompaan.

Pertukaran Gas Dalam Paru-Paru

Komposisi Udara Alveolus
Oksigen terus-menerus berdifusi dari udara dalam alveoli (udara alveolus) ke dalam aliran darah, dan CO2 terus-menerus berdifusi dari darah ke dalam alveoli. Pada keadaan seimbang, udara inspirasi bercampur dengan udara alveolus, menggantikan O2 yang telah masuk ke dalam darah dan mengencerkan CO2 yang telah memasuki alveoli. Sebagian udara campuran ini akan dikeluarkan. Kandungan O2 udara alveolus akan menurun dan kandungan CO2 -nya meningkat sampai inspirasi berikutnya. Pada akhir ekspirasi tenang (kapasitas residu fungsional), volume udara di dalam alveoli sekitar 2L, sehingga setiap perubahan sejumlah 350 mL selama inspirasi dan ekspirasi sangat sedikit mengubah besar PO2 dan PCO2. Pada kenyataannya, komposisi udara alveolus relatif tetap konstan, tidak hanya pada saat istirahat tetapi juga pada berbagai keadaan lain (Ganong FW, 1998).

 

Pengambilan Contoh Udara Alveolus

Secara teoritis, udara yang diekspirasikan merupakan udara alveolus, kecuali 150 mL, kecuali 150 mL udara ekspirasi awal, walaupun selalu terdapat udara campuran pada fase peralihan antara udara ruang rugi dengan udara alveolus. Dengan demikian, untuk melakukan analisis gas diambil bagian terakhir udara ekspirasi. Dengan menggunakan alat mutakhir yang dilengkapi dengan katup otomatis uang sesuai, dimungkinkan untuk mengambil 10 mL terakhir udara ekspirasi selama pernapasan tenang.

 

Difusi Melalui Membran Alveolus-Kapiler

Gas berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler paru atau sebaliknya melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis yang dibentuk oleh epitel pulmonal, endotel kapiler serta membran basalis masing-masing yang berfusi. Tercapai atau tidaknya keseimbangan senyawa yang melintas dari alveoli ke dalam darah kapiler dalam waktu 0,75 detik yang diperlukan untuk melewati kapiler paru pada saat istirahat bergantung pada reaksinya dengan senyawa dalam darah. Sebagai contoh gas anestesi nitrogen oksida tidak bereaksi, dan N2O mencapai keseimbangan dalam waktu sekitar 0,1 detik. Pada keadaan ini, jumlah N2O yang masuk ke dalam tubuh tidak dibatasi oleh kemampuan difusi melainkan oleh jumlah darah yang mengalir melalui kapiler paru (perfusion-limited). Di pihak lain, karbon monoksida diambil oleh hemoglobin dalam sel darah merah dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga tekanan parsial CO di dalam kapiler tetap sangat rendah dan keadaan seimbang tida dapat tercapai dalam waktu 0,75 detik saat darah berada dalam kapiler baru. Oleh sebab itu, pada keadaans istirahat perpindahan CO bukan dibatasi oleh besarnya perfusi, melainkan oleh kemampuan difusi (difusion-limited). Perpindahan O2 terletak antara N2O dan CO; O2 diambil oleh hemoglobin tetapi jauh lebih lambat dibandingkan CO, dan mencapai keseimbangan dengan darah kapiler dalam waktu sekitar 0,3 detik. Jadi, ambilan O2 juga dibatasi ileh perfusi.

Kapasitas difusi paru untuk suatu gas berbanding lurus dengan luas membran alveolus-kapiler dan berbanding terbalik dengan tebal membran. Kapasitas difusi CO (DLCO) diukur sebagai indeks kapasitas difusi karena pengambilannya dibatasi oleh kemampuan difusi. DLCO sebanding dengan jumlah CO yang memasuki alveoli dikurangi tekanan parsial CO dalam darah yang masuk ke kapiler paru. Nilai terakhir ini mendekati no sehingga dapat diabaikan, kecuali pada perokok habitual, dan persamaan tersebut menjadi
DLCO =     

Pada keadaan istirahat, nilai normal DLCO sekitar 25 mL/menit/mmHG. Nilai ini meningkat 3 kali selama latihan fisik akibat dilatasi kapiler dan peningkatan jumlah kapiler yang aktif.

PO2 udara alveolus normal adalah 100 mmHg dan PO2 darah yang memasuki kapiler paru adalah 40 mmHG. Seperti halnya CO, kapasitas difusi O2 pada keadaan istirahat adalah 25 mL/menit/mmHg, dan PO2 dalam darah meningkat mencapai 97 mmHg. Nilai yang sedikit lebih rendah daripada PO2 alveolus. Nilai ini berkurang menjadi 95 mmHg di dalam aorta akibat adanya pintas (shunt) fisiologis. DLO2 meningkat mencapai 65 mL/menit/mmHg selama latihan fisik dan menurun pada penyakit seperti sarkoidosis dan keracunan birilium (biriliosis) yang menimbulkan fibrosis dinding alveolus. Penyebab lain fibrosis paru adalah sekresi PDGP berlebihan oleh makrofag alveolus, yang merangsang sel mesenkim di sekitarnya.

PCO2 darah vena adalah 46 mmHg, sehingga CO2 berdifusi dari darah ke dalam alveoli sesuai selisih tekanan tersebut. PCO2 darah yang meninggalkan paru adalah 40 mmHg. CO2 mampu menembus sleuruh membran biologis dengan mudah, dan kapasitas difusi paru untuk CO2 jaub lebih besar dibandingkan O2. inilah sebabnya mengapa retensi CO2 jarang merupakan masalah pada penderita fibrosis alveolus welaupun terdapat penurunan kapasitas difusi O2 yang nyata(Ganong FW, 1998).

Sirkuasi Pulmonal
Pembuluh Darah Paru
Jalinan pembuluh darah paru yang menyerupai pembuluh darah sistemik, tetapi tebal dinding pembuluh arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya hanya sekitar 30% tebal dinding aorta, dan pembuluh arteri kecil, berbeda dengan arteriola sistemik, merupakan tabung endotel yang relatif sedikit mengandung otot polos di dalam dindingnya. Pada dinding pembuluh jaringan otot polos. Pembuluh kapiler paru berukuran besar, dan didapatkan banyak anastomosis, sehingga setiap alveolus diliputi oleh keranjang kapiler.

 

Tekanan, Volume, dan Aliran

Darah yang keluar dari ventrikel kiri akan kembali ke atrium kanan dan selanjutnya diejeksikan oleh ventrikel kanan, menyebabkan sirkulasi pulmonal memiliki keunikan yaitu bahwa di dalamnya terkandung aliran darah yang hampir sama dengan jumlah darah di seluruh organ tubuh lainnya,  dengan dua pengecualian dalam kuantitas kecil. Salah satu pengecualian adalag aliran darah bronkial. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, didapatkan anastomosis yang luas antara kapiler bronkial dan kapiler pulmonal, dan walaupun sejumlah darah bronkial mengalir ke vena bronkial, sebagain darah mengalir ke dalam kapiler pulmonal, memintasi ventrikel kanan. Pengecualian yang lain adalah darah yang mengalir dari arteri koronaria ke dalam rongga jantung sebelah kiri. Adanya pintas fisiologis kecil yang dibentuk oleh 2 pengecualian tersebut mengakibatkan PO2 darah arteri sistemik turun sekitar 2 mmHg lebih rendah dibandingkan darah yang telah mencapai keseimbangan dengan udara alveolus, dan saturasi hemoglobin juga berkurangs sekitar 0,5%.

Keseluruhan sistem pembuluh darah pulmonal merupakan susunan pembuluh bertekanan rendah yang dapat mengembang. Tekanan darah dalam arteri pulmonalis sekitar 24/9 mmHg, dan tekanan arteri rata-ratanya sekitar 15 mmHg. Tekanan di dalam atrium kiri sekitar 8 mmHg selama diastol, sehingga selisih tekanan dalam sistem pembuluh pulmonal hanya sekitar 7 mmHg, jika dibandingkan dengan selisih tekanan dalam sirkulasi sistemik yang besarnya sekitar 90 mmHg. Menerik untuk diperhatikan bahwa penurunan tekanan dari arteri pulmonalis sampai ke kapiler paru relatif kecil dan penurunan tekanan di dalam sistem vena lebih nyata.

Volume darah di dalam pembuluh pulmonal setiap saat adalah sekitar 1 L, dan kurang dari 100 mL berada dalam kapiler. Keceopatan sama dengan di dalam aorta (sekitar 40 cm/detik). Kecepatan aliran ini menurun dengan tajam, dan agak meningkat kembali di dalam vena-vena pulmonalis yang besar. Satu sel darah merah membutuhkan waktu sekitar 0,75 detik untuk melintasi kapiler paru pada keadaan istirahat, dan sekitar 0,3 detik atau kurang sewaktu latihan fisik(Ganong FW, 1998).

 

Tekanan Kapiler

Tekanan di dalam kapiler paru sekitar 10mmHg, sedangkan tekanan onkotiknya adalah 25 mmHg, sehingga terdapat selisih tekanan yang mengarah ke dalam sebesar 15 mmHg yang menjaga agar alveolus tetap bebas cairan. Apabila tekanan di dalam kapiler paru melampaui 25 mmHg seperti yang mungkin terjadi apabila terdapat “kegagalan mundur” (backward failure) ventrikel kiri timbul kongesti dan edema paru. Penderita stenosis ketup mitral juga akan mengalami peningkatan tekanan progresif menahun di dalam kapiler paru disertai perubahan fibrotik yang luas pada pembuluh paru. Gejala edema paru pada pada stenosis katup mitral tidak terlalu menonjol dibandingkan pada gagal jantung kongestif yang sesungguhnya, mungkin disebabkan karena “terlindungnya” kapiler paru oleh fibrosis dan konstriksi pembuluh arteri pulmonalis.

 

Pengaruh Gravitasi

Gravitasi memberikan dampak yang cukup jelas pada sirkulasi pulmonal. Pada posisi tegak, bagian atas paru-paru berada jauh di atas jantung, dan bagian basis berada setinggi atau sedikit di bawah jantung. Akibatnya, terdapat gradien perbedaan tekanan yang cukup jelas dalam arteri pulmonalis mulai dari bagian atas sampai bawah paru serta peningkatan linier aliran darah pulmonal mulai dari apeks sampai basis paru. Tekanan di dalam kapiler pada bagian puncak paru mendekati tekanan atmosfer dalam alveoli. Pada keadaan normal,  tekanan di dalam arteri pulmonalis cukup besar untuk mempertahankan perfusi, namun apabila tekanan ini menurun atau tekanan di dalam alveolus meningkat, sejumlah kapiler kolaps. Pada keadaan ini, tidak terdapat pertukaran gas pada alveolus yang kolaps sehingga menjadi bagian dari ruang rugi fisiologi.

Pada bagian tengah paru, tekanan di dalam arteri dan kapiler pulmonal lebih besar daripada tekanan alveolus, namun tekanan di dalam venula dapat lebih rendah dibandingkan tekanan alveolus selama ekspirasi normal, sehingga pembuluh venula dapat kolaps. Pada keadaan ini, aliran darah lebih ditentukan oleh perbedaan tekanan antara arteri pulmonalis-alveolus dan bukan oleh selisih tekanan arteri-vena pulmonalis. Setelah melampaui daerah penyempitan, darah “jatuh” ke dalam pembuluh vena paru yang sangat komplian dan dapat menampung berapapun banyaknya darah yang dapat melewati daerah pembuluh vena yang sempit. Peristiwa ini disebut efek air terjun, tapi istilah tersebut kurang tepat karena pada puncak air terjun yang sebenarnya tidak terdapat hambatan.

Pada bagian bawah paru, tekanan alveolus lebih rendah dibandingkan tekanan di dalam seluruh bagian sirkulasi pulmonal dan aliran darah ditentukan oleh perbedaan tekanan arteri-vena.
Rasio Ventilasi/Perfusi
Pada keadaan istirahat, rasio antara ventilasi dengan aliran darah pulmonal untuk seluruh paru adalah sekitar 0,8 (4,2 L/menit ventilasi dibagi dengan 5,5 L/menit aliran darah). Namun, akibat adanya pengaruh gravitasi, didapatkan perbedaan rasio ventilasi/perfusi yang cukup jelas pada berbagai bagian paru normal, dan perubahan lokal rasio ventilasi/perfusi lazim dijumpai pada berbagai penyakit. Apabila didapatkan penurunan ventilasi alveolus relatif terhadap perfusinya, PO2 dalam alveolus menurun akibat berkurangnya pengiriman O2 ke alveolus dan PCO2 alveolus meningkat karena menurunnya pengeluaran pengeluaran CO2. sebaliknya, apabila terjadi penurunan perfusi relatif terhadap ventilasi, PCO2 berkurang karena lebih sedikit O2 yang memasuki aliran darah.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada posisi tegak, terjadi penurunan linier baik pada ventilasi maupun perfusi, mulai dari basis sampai apeks paru. Tetapi, rasio ventilasi/perfusi tinggi di bagian atas paru. Dikatakan bahwa rasio ventilasi/perfusi yang tinggi di bagian apeks berperan pada terjadinya predileksi tuberkulosis di bagian apeks, karena PO2 alveolus yang relatif tinggi merupakan lingkungan yang menyokong pertumbuhan bakteri tuberkulosis.Apabila ventilasi dan perfusi yang tidak merata dalam  paru mencakup daerah yang luas, dapat terjadi penurunan PO2 di dalam pembuluh arteri sistemik dan retensi PCO2. (Ganong FW, 1998).

Reservoar Paru
Akibat daya mengembangnya yang besar, vena-vena pulmonalis merupakan reservoar darah yang penting. Apabila seorang indivisu normal berbaring, volume darah pulmonal meningkat sampai 400 mL, dan apabila individu tersebut berdiri, sejumlah darah tersebut dikeluarkan ke dalam sirkulasi umum. Pergeseran ini merupakan penyebab terdapatnya penurunan kapasitas vital pada posisi berbaring dan bertanggung jawab akan terjadinya ortopne pada gagal jantung.

Pengaturan Aliran Darah Pulmonal
Vasokonstriksi pembuluh arterior paru ditimbulkan oleh norepinefrin, epinefrin, angiotensin II, tromboksan dan PGF2a; sedangkan fasodilatasi ditimbulkan oleh isoproterenol, asetilkolin dan PGL2. Konstriksi venula pulmonal disebabkan oleh serotonin, histamin, dan endotoksin Escherichia coli. Pembuluh darah paru dipersarafi secara luas oleh serat saraf vasokonstriktor simpatis akan menurunkan aliran darah pulmonal sampai 30%.

Walaupun dipersarafi secara luas dan reaktifitas pembuluh darahnya tinggi, tampaknya pengaturan aliran darah pulmonal keseluruhan umumnya terjadi secara pasif, dan penyesuaian lokal perfusi terhadap ventilasi ditentukan oleh efek lokal O2 atau kekurangannya. Pada waktu olahraga, terjadi peningkatan curah jantung diikuti peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang sebanding, dengan sedikit atau tanpa vasodilatasi. Jumlah sel darah merah yang mengalir melalui paru akan meningkat tanpa penurunan saturasi O2 hemoglobin yang dikandungnya, sehingga jumlah O2 total yang diangkut ke dalam sirkulasi sistemik akan meningkat. Pembuluh kapiler akan berdilatasi, dan kapiler yang sebelumnya kurang mendapat perfusi akan “dikerahkan” untuk membawa darah. Efek akhirnya adalah peningkatan aliran darah pulmonal nyata dengan relatif sedikit perubahan pada rangsang otosom menuju pembuluh darah pulmonal.

Perubahan lokal aliran darah pulmonal sebagian besar disebabkan oleh perubahan setempat kandungan O2 dalam jaringan . 133Xe dapat digunakan untuk mengamati aliran darah dengan cara menyuntikkan larutan gas tersebut dalam larutan saline secara intravena sambil memantau daerah dada. Gas ini dengan cepat memasuki alveoli yang mempunyai perfusi normal, tetapi gagal untuk menempati alveoli yang tidak memperoleh perfusi. Cara lain untuk menentukan lokasi daerah dengan perfusi yang kurang adalah melalui penyuntikan makroagregat albumin yang ditandai dengan yodium radioaktif . agregat tersebut berukuran cukup besar untuk menyumbat kapiler serta arteriola kecil, dan penyumbatan hanya terjadi pada pembuluh yang darahnya mengalir saat mencapai paru-paru. Walaupun tampaknya kontradiktif untuk meneliti pasien yang menderita kelainan aliran darah paru dengan cara menimbulkan sumbatan pembuluh darah, cara ini cukup aman karena relatif sedikit partikel yang disuntikkan. Partikel ini hanya menyumbat sebagian kecil pembuluh darah pulmonal dan dengan cepat dikeluarkan dari tubuh.

Penyumbatan salah satu bronkus atau bronkiolus akan menimbulkan hipoksia pada alveolus di belakang sumbatan, akibat kurang memperoleh ventialasi. Defisiensi O2 tampaknya langsung mempengaruhi otot polos pembulud darah di daerah sekitarnya, menimbulkan vasokonstriksi, memintas aliran darah menjauhi daerah hipoksia. Penimbunan CO2 menyebabkan penurunan pH pada daerah tersebut, dan penurunan pH juga nengakibatkan vasokonstriksi pembuluh paru, yang berlawanan dengan efeknya pada jaringan lain, yaitu vasodilatasi. Sebaliknya, penurunan aliran darah ke suatu bagian paru akan menimbulkan konstriksi bronkus yang memasoknya dan mengalihkan ventilasi dari daerah yang perfusinya terganggu.

Hipoksia sistemik juga menimbulkan konstriksi arteriola paru, yang mengakibatkan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis(Ganong FW, 1998).

Pertukaran Gas Pernapasan  
Gas pernapasan mengalami pertukaran di alveoli dan kapiler jaringan tubuh. Oksigen ditransfer dari paru-paru ke darah dan karbon dioksida ditransfer dari darah ke alveoli untuk dikeluarkan sebagai produk sampah. Pada tingkat jaringan, oksigen ditrasfer dari darah ke jaringan, dan karbon dioksida ditrasfer dari jaringan ke darah untuk kembali ke alveoli dan dikeluarkan. Transfer ini bergantung pada proses difusi(Potter And Perry,1999).

Difusi
Difusi merupakan gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi yang lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah. Difusi gas pernapasan terjadi di membran kapiler alvcolar dan kecepatan difusi dapat dipengaruhi oleh ketebalan membran.

Peningkatan ketebalan membran merintangi proses difusi karena hal tersebut membuat gas memerlukan waktu lebih lama untuk melewati membran tersebut. Klien yang mengalami edema pulmonar, infiltrasi pulmonar, atau efusi pulmonar memiliki ketebalan membran alveolar-kapiler yang meningkat akan mengakibatkan proses difusi yang lambat, pertukaran gas pernapasan yang lambat dan mengganggu proses pengiriman oksigen ke jaringan.

Daerah permukaan membran dapat mengalami perubahan sebagai akibat suatu penyakit kronik (mis. emfisema), penyakit akut (mis. pneumothoraks), atau proses pembedahan (mis. lobektomi). Apabila alveoli yang berfungsi lebih sedikit, maka daerah permukaan menjadi berkurang(Potter And Perry,1999).

Transportasi Oksigen
Sistem transformasi oksigen terdiri dari sistem paru dan sistem kardi. Proses penghantaran ini bergantung pada jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru (ventilasi), aliran darah ke paru-paru dan jaringan (perfusi), kecepatan difusi, dan kapasitas membawa oksigen. Kapasitas darah untuk membawa oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang larut dalam plasma, jumlah hemoglobin, dan kecenderungan hemoglobin untuk berikatan dengan oksigen (Ahrens, 1990).

Jumlah oksigen yang larut dalam plasma relatif kecil, yakni hanya sekitar 3%. Sebagian besar oksigen ditrasportasi oleh hemoglobin yang berfungsi sebagai pembawa oksigen dan karbon dioksida. Molekul hemoglobin bercampur dengan oksigen untuk membentuk oksihemoglobin. Pembentukan oksihemoglobin dengan mudah berbalik (reversibel), sehingga memungkinkan hemoglobin dan oksigen berpisah, membuat oksigen menjadi bebas(Potter And Perry,1999).

Transportasi Karbon Dioksida
Karbon dioksidaberdifusi ke dalam sel-sel darah merah dan dengan cepat dihidrasi menjadi asam karbonat (H2CO3) akibat adanya anhidrasikabonat. Asam karbonat kemudian berpisah menjadi ion hidrogen (H*) dan ion bikarbonat (HCO3¯). Ion hidrogen dibufer oleh hemoglobin dan HCO3¯ berdifusi ke dalam plasma (lihat Bab 45). Selain itu beberapa karbon dioksida yang ada dalam sel darah merah bereaksi dengan kelompok asam amino, membentuk senyawa karbamino. Reaksi ini dapat terjadi dengan cepat tanpa adanya enzim. Hemoglobin yang berkurang (deoksihemoglobin) dapat bersenyawa dengan karbon dioksida dengan lebih mudah daripada oksihemoglobin. Dengan demikian, darah vena menstransportasi sebagian besar karbon dioksida(Potter And Perry,1999).

Penyesuaian Pernapasan Pada Keadaan Sehat Dan Sakit
Penyesuaian pernapasan terhadap latihan fisik, hipoksia, termasuk yang terjadi pada ketinggian, hiperkapnia, serta penyakit pernapasan. Seperti halnya kompensasi penyesuaian sistem kardiovaskuler terhadap perubahan lingkungan dan penyakit menggambarkan aksi integrasi mekanisme pengaturan kardiovaskuler, penyesuaian pernapasan ini menyoroti aksi mekanisme pengaturan pernapasan(Ganong FW, 1998).

Pengaruh Latihan Fisik
Untuk memenuhi kebutuhan O jaringan aktif serta pengeluaran CO2 dan panas selama melakukan latihan fisik, diperlukan kerja terpadu berbagai mekanisme kardiovaskular dan pernapasan. Perubahan sirkulasi akan meningkatkan aliran darah ke otot, sementara sirkulasi yang adekuat pada bagian tubuh yang lain harus dipertahankan. Selain itu, dan ventilasi juga ditingkatkan sehingga sejumlah tambahan O2 dari darah pada otot yang bekerja akan meningkat, dan ventilasi juga ditingkatkan sehingga sejumlah tambahan O­2 dapat disediakan, dan sebagian panas serta kelebihan CO2 dapat disediakan, dan sebagian panas serta CO2 dikeluarkan.

Perubahan Pada Ventilasi
Selama latihan fisik, jumlah O2 yang memasuki aliran darah di paru-paru meningkat, karena adanya kenaikan jumlah O2 yang ditambahkan pada tiap satuan darah serta bertambahnya aliran darah pulmonal per menit. Po2 darah yang mengalir ke dalam kapiler pulmonal akan menurun 40 menjadi 25 mm Hg atau kurang, sehingga perbedaan Po2 alveol-kapiker meningkat dan lebih banyak O2 akan masuk ke dalam darah. Aliran darah per menit meningkat dari 5,5 L/menit menjadi 20-35 L/menit. Dengan demikian jumlah O2 total yang memasuki darah juga bertambah, dari 250 mL/menit saat istirahat mencapai 4000 mL/menit. Jumlah CO2 yang dikeluarkan dari tiap satuan darah meningkat, dan ekskresi CO2 meningkat dari 200 mL/menit mencapai 8000 mL/menit. Peningkatan ambilan O3 sebanding dengan beban kerja yang dilakukan,sampai dicapai batas maksimum. Di atas batas maksimum, konsumsi O2 mendatar dan kadar asam laktat darah terus meningkat. Laktat berasal dari otot, saat resintensis aerobik cadangan energi tidak dapat mencukupo penggunaannya dan terjadilah hutang oksigen.

Pada saat dimulainya latihan fisik, terjadi peningkatan ventilasi mendadak, dan setelah suatu periode istirahat singkat, diikuti oleh peningkatan yang bertahap. Pada latihan fisik sedang, kenaikan ventilasi terutama berupa peningkatan frekuensi pernapasan apabila latihan fisik diperberat. Pada saat penghentian latihan fisik terjadi penurunan ventilasi mendadak, yang setelah jeda singkat diikuti dengan penurunan bertahap mencapai nilai sebelum latihan. Peningkatan mendadak pada awal latihan fisik kemungkinan disebabkan oleh rangsang psikis serta k\implus aferen dari propriseptor di otot, tendo, dan persendian. Peningkatan yang bertahap kemungkinan disebabkan oleh faktor humoral, walaupun selama latihan fisi sedang, pH, Pco2 dan Po2 darah arteri tidak berubah. Peningkatan ventilasi sebanding dengan peningkatan konsumsi O2, tetapi mekanisme yang mendasari perangsangan pernapasan masih menjadi perdebatan. Kemungkinan adanya peningkatan suhu tubuh juga memainkan peranan. Latihan fisik meningkatkan kadar K+ plasma, dan peningkatan ini dapat merangsang kemoreseptor perifer. Sebagai tambahan, mungkin pula kepekaan pusat pernapasan terhadap CO2 meningkat atau fluktuasi Pco2 darah arteri oleh gerak pernapasan bertambah, sehingga meskipun Pco2 darah arteri rata-rata tidak meningkat, CO2 lah yang berperan dalam meningkatkan ventilasi. O2 tampaknya juga berperan, meskipun tidak terdapat penurunan Po2 darah arteri. Saat melakukan suatu beban kerja tertentu sambil bernapas dengan O2 100%, peningkatan ventilasi yang terjadi lebih rendah 10-20% dibandingkan dengan peningkatan pernapasan saat bernapas dengan udara biasa. Dengan demikian, tampaknya kombinasi berbagai faktor berperan dalam terjadinya peningkatan ventilasi saat latihan fisik sedang.

Apabila latihan fisik diperberat, pembuferan jumlah asam laktat yang semakin banyak terbentuk menghasilkan lebih banyak CO2, dan hal ini menyebabkan vetilasi semakin meningkat. Respons terhadap peningkatkan latihan fisik bertahap. Dengan bertambahnya pembentukan asam laktat, peningkatan ventilasi dan pembentukan CO2 tetap berimbang, sehingga CO2 alveol dan darah arteri hampir tidak berubah (pembuferan isokapnik). Oleh adanya hiperventilasi, Po2 alveol meningkat. Dengan bertambahnya akumulasi asam laktat, peningkatan ventilasi melampaui pembentukan CO2, sehingga Pco­2 alveol dan Pco2 darah arteri berkurang. Penurunan Pco2 darah arteri merupakan kompensasi pernapasan pada asidosis metabolik yang ditimbulkan oleh kelebihan asam laktat. Peningkatan ventilasi tambahan akibat asidosis bergantung pada badan karotis dan hal ini tidak terjadi apabila badan karotis disingkirkan.

Frekuensi pernapasan setelah latihan fisik dihentikan tidak mencapai nilai basal sebelum hutang O2 dibayar. Keadaan ini dapat berlangsung hingga 90 menit. Rangsang yang biasanya normal atau tinggi, melainkan melalui konsentrasi H+ yang meningkat akibat asidemia laktat. Besar hutang O2 diatas konsumsi basal mulai dari saat penghentian latihan fisik sampai kembalinya tingkan konsumsi O2 ke nila sebelum latihan. Selama pembayaran hutang O2, terdapat peningkatan O2 sedikit di dalam mioglobin otot. ATP dan kreatinfoosforil disintesis kembali, dan asam laktat disingkirkan. Sekitar 80% asam laktat diubah menjadi glikogen dan 20% sisanya dimetabolisis menjadi CO2 dan H2O.

Tambahan CO2 yang dihasilkan oleh pembuferan asam laktat selama latihan fisik berat, menyebabkan nilai R meningkat mencapai 1,5-2,0. Setelah penghentian latihan, selama hutang O2 dibayar, nilai R turun menjadi 0,5 atau lebih rendah.  

Perubahan dalam Jaringan
Ambilan O2 maksimum selama latihan fisik dibatasi oleh kecepatan maksimum pengangkutan O2 menuju mitokondria otot yang bekerja. Namun pada keadaan normal, keterbatasan ini bukanlah disebabkan oleh kekurangan ambilan O2 di paru, dan hemoglobin dalam darah arteri tetap tersaturasi penuh meskipun melakukan latihan fisik berat.

Selama latihan fisik, penggunaan O2 oleh otot yang bekerja bertambah, sehingga Po2 dari darah ke jaringan bertambah, sehingga Po2 darah dari otot yang aktif turun hampir mendekati nol. Difusi O2 dari darah ke jaringan bertambah, sehingga Po2 darah pada otot berkurang, dan pelepasan O2 dari hemoglobin meningkat. Adanya dilatasi jalinan kapiler serta bertambahnya kapiler yang terbuka, menyebabkan jarak rata-rata antara darah dengan sel jaringan sangat menurun; hal ini memudahkan pergerakan O2 dari darah menuju sel. Pada kisaran Po2 di bawah 60 mm Hg, kurva disosiasi hemoglobin-oksigen berada pada bagian curam, sehingga pada tiap penurunan 1 mm Hg, akan disediakan relatif banyak O2. Sejumlah O2 akan ditambahkan pula, karena adanya penumpukan CO2 dan peningkatan suhu di jaringan aktif-serta mungkin pula terdapat peningkatan 2,3-DPG didalam sel darah merah-kurva disosoasi bergeser ke kanan. Sebagaimana hasil akhir didapatkan peningkatan ekstraksi O2 3 kali dari tiap satuan darah. Peningkatan ini disertai pula dengan 30 kali atau lebih peningkatan aliran darah, sehingga selama melakukan latihan fisik, dimungkinkan terjadi pertambahan laju metabolisme dalam otot mencapai 100 kali.

Kelelahan
Kelelahan merupakan suatu fenomena yang kurang dipahami, yang pada keadaan normal terjadi sebagai akibat latihan fisik intensif atau beban mental. Selain itu, kelelahan merupakan gejala pada berbagai penyakit yang berbeda. Asidosis dan beberapa faktor lain yang timbul selama latihan fisik, ikut berperan dalam terjadinya kelelahan. Keras atau “berat” suatu latihan fisik yang dirasakan (subyektif) berkaitan dengan kecepatan konsumsi O2 dan bukan beban kerja aktual (kg m/menit) yang dijalankan. Dikatakan bahwa serangkaian impuls berturutan pada serat aferen dari propriseptor di otot akan menimbulkan rasa “lelah”. Pengaruh asidosis oada otak mungkin pula menyokong timbulnya rasa lelah. Pada individu normal, latihan fisik berkepanjangan menimbulkan hipoglikemia, tetapi usaha mencegah terjadinya hipoglikemia tidak mempengaruhi ketahanan seseorang seseorang atau menunda saat timbulnya kelelahan. Dipihak lain, pada manusia didapatkan hubungan anyara kelelahan dengan habisnya persediaan glikogen otot, sebagaimana ditetapkan melalui biopsi otot. Kontraksi otot yang terus-menerus menimbulkan nyeri, karena otot menjadi iskemik dan terjadi akumulasi suatu substansi yang merangsang ujung saraf (“faktor P”). Namun, pada kontraksi intermiten tidak timbul rasa nyeri, karena faktor P diangkat oleh darah. Kekakuan otot sebagian dapat disebabkan oleh akumulasi cairan intertisial di dalam otot selama melakukan kerja berat.

Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2, di tingkat jaringan. Istilah ini lebih tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai bahwa benar-benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Secara tradisional, hipoksia dibagi 4 jenis.Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut : (1) hipoksia hipoksik (anoksia anoksik), yaitu apabila Po2 darah arteri berkurang; (2) hipoksia anemik, yaitu bila Po2 darah arteri normal tetapi jumlah hemoglobin yang tersedia untuk mengangkut O2 berkurang; (3) hipoksia stagna atau iskemik, bila aliran darah menuju jaringan sangat rendah sehingga tidak cukup O2 diantarkan ke jaringan, meskipun Po2 dan konsentrasi hemoglobin normal; dan (4) hipoksia histoksik, bila jumlah O2 yang diantarkan ke jaringan memadai, namun oleh karena kerja suatu agen toksik.

Pengaruh Hipoksia
 Pengaruh hipoksia stagnan bergantung pada jaringan yang terkena. Pada hipoksia hipoksik dan bentuk hipoksia umum lainnya, otaklah yang pertama kali dipengaruhi, penurunan mendadak Po2 udara inspirasi sampai lebih rendah dari 20 mm Hg, misalnya saat kehilangan tekanan mendadak di dalam ruangan pesawat terbang pada ketinggian di atas 16.000 m, menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu sekitar 20 detik. Disusul dengan kematian dalam waktu 4-5 menit. Hipoksia yang tidak terlalu berat menimbulkan bebagai penyimpangan mental yang tidak berbeda dengan kelainan akibat alkohol: gangguan dalam mengambil keputusan, mengantuk, berkurangnya kepekaan terhadap nyeri, rasa gembira, disorientasi, hilangnya orientasi waktu dan sakit kepala. Gejala lain mencakup anoreksia, mual, muntah, takikardia dan pada hipoksia berat didapatkan hipertensi. Kecepatan ventilasi meningkat setara dnegan beratnya hipoksia pada sel kemoreptor karotis(Ganong FW, 1998).

Sianosis
Hemoglobin reduksi mempunyai warna gelap, dan bila konsentrasi hemoglobin reduksi di dalam darah kapiler lebih besar dari 5 g/dL. Tampak warna biru-kehitaman pada jaringan, yang disebut sianosis. Sianosis palingm udah dilihat pada kuku dan membran mukosa serta pada cuping telinga, bibir dan jari-jari, yaitu pada bagian berkulit tipis. Terlihatnya sianosis bergatung pada jumlah total hemaglobin dalam darah, derajat hemoglobin yang tidak tersaturasi serta keadaan sirkulasi kapiler.

Seseorang mungkin berpikir bahwa sianosis terlihat lebih jelas bila pembuluh kulit berdialatasi. Namun, bila terdapat konstriksi arteriol dan vena kulit, aliran darah melalui kapiler sangat lambat dan lebih banyak O2 diambil dari hemoglobin. Inilah sebabnya pada individu normal timbul sianosi pada bagian tubuh yang terpapar suhu cukup dingin. Pada cuaca yang sangat dingin tidak timbul sianosis, karena penurunan suhu kulit menghambat disosiasi oksihemoglobin dan konsumsi O2 menurun pada jaringan yang dingin. Sianosis juga tidak tampak pada hipoksia anemik dengan kandungan hemoglobin total yang rendah; pada keracunan karbon monoksida, karena warna hemoglobin reduksi tertutup oleh warna merah-cerah dari karbon monoksihemoglobin; atau pada hipoksia histotoksik, karena kandungan gas dalam darah normal. Perubahan warna kulit dan membran mukosa yang serupa dengan sianosis(Ganong, 1998).

 
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com